Senin, 18 Juli 2011

UAS

http://www.box.net/shared/st4248fhluf4xikot7ub

Rumah PAUD

Rendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika. Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+ tahun.

Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.

Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.

Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.

Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.

Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.

Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.

Pendidikan Matematika

Untuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya.

Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau menemukan masalah.

Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.

Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya.

Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, ..., dan lima. Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ..., sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat "bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak.

Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak.

Orang Tua "Guru" Kreatif

Peran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain.

Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.

Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.

PAUD

Sekalipun ada institusi khusus yang menangani pengembangan kemampuan anak usia dini, seharusnya itu hanyalah pelengkap. Walau bagaimanapun waktu yang dihabiskan anak-anak di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di sekolah. Berdasarkan fakta tersebut, tentu pengetahuan orang tua tentang kegiatan dan pembelajaran menarik di rumah justru sangat penting untuk dikembangkan.


Masalah yang biasanya dihadapi para ibu pemula adalah kurangnya informasi dan skill dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak balitanya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang tua tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi orang tua. Menjadi ayah atau ibu tampak begitu alamiah, sehingga nyaris semua orang tidak menganggap perlu untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang ilmu-ilmu keayahbundaan sebelum mereka menikah. Tak heran jika para ibu-ayah pemula akhirnya dikejutkan oleh persoalan-persoalan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Setelah masalah timbul, barulah keduanya sibuk mencari tahu.

Mungkin itu pula salah satu alasan mengapa orang tua memasukkan anak-anak balitanya ke playgroup atau TK. Orang tua merasa khawatir, mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan anak-anak mereka secara maksimal.

Antusiasme untuk memperbanyak jumlah TK dan sejenisnya patut kita acungi jempol. Hal itu merupakan salah satu solusi agar semakin banyak anak-anak usia dini yang “terlayani” pendidikannya. Akan tetapi, bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, selain belum meratanya pengetahuan tentang pentingnya PAUD, mereka juga memiliki masalah lain untuk memasukkan anak-anak balitanya ke TK, yaitu faktor biaya.

Semurah-murahnya biaya pendidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak saat ini tetap cukup berat jika satu keluarga memiliki beberapa anak usia sekolah. Mereka lebih memprioritaskan pembiayaan anak-anak yang sudah masuk SD atau jenjang di atasnya, daripada menyekolahkan anaknya yang masih balita. Adakalanya beberapa orang tua yang mungkin sudah memiliki kesadaran akan pentingnya PAUD, harus bersikap rasional ketika berhadapan dengan masalah tersebut.

Mengembangkan Skill Orang Tua
Ketika orang tua memutuskan untuk tidak memasukkan anak balitanya ke kelas-kelas prasekolah, timbul dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, banyak anak-anak balita yang tidak punya kegiatan terarah, dan ujung-ujungnya malah menjadikan televisi sebagai teman bermain. Sementara itu, kita tentu sepakat bahwa tidak semua acara TV itu baik bagi perkembangan anak-anak. Dan kemungkinan kedua, ada orang tua yang kreatif menyediakan kegiatan pengganti sekolah yang tidak kalah bagusnya. Anak-anak tetap bisa belajar banyak hal meskipun hanya lewat kegiatan “rumahan” dan memanipulasi perabotan yang ada menjadi alat belajar.

Kemungkinan yang terakhir memang sangat kecil terjadi, karena patut kita akui, pengetahuan tentang cara mendidik anak usia dini belumlah begitu merata. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggalakan terbentuknya unit-unit belajar bagi orang tua.

Unit-unit belajar ini bukan hanya membantu anak-anak yang tidak bisa masuk playgroup atau TK, melainkan juga bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak di keluarga-keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya tapi masih lemah dalam pengetahuan keayahbundaan.

Informasi yang dituturkan Jeanette Vos dan Gordon Dryden dalam bukunya The Learning Revolutions: To Change The Way the World Learns, yang edisi terjemahannya sudah diterbitkan Penerbit Kaifa, menyebutkan bahwa di Malaysia telah diselenggarakan program pendidikan orang tua yang disebut Nury, berasal dari kata “nur”, yang berati cahaya. Program itu diselenggarakan di desa-desa oleh Dr. Noor Laily Dato’ Abu Bakar dan Mansor Haji Sukaimi. Dalam sepuluh tahun mereka telah melatih 20.000 orang tua di Malaysia dan 2.000 di Singapura.

Program Missouri Parents As Teachers (PAT) di Amerika Serikat, juga telah menjadi pemicu yang penting dari konsep orang tua sebagai guru. Ini dimulai pada 1981 sebagai program percontohan dengan nama Parents as First Teachers (Orang Tua sebagai Guru Pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orang tua, sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri.
PAT sekarang telah menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak-anak berusia 0 – 3 tahun telah mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing oleh sekitar 1.500 pendidik orang tua terlatih yang bekerja sebagai honorer.

Pada setiap kunjungan, pendidik orang tua itu membawa serta berbagai permainan dan buku yang sesuai dengan fase pertumbuhan anak, mendiskusikan apa yang diharapkan orang tua, dan memberikan selembar kertas berisi tip-tip menstimulasi minat anak pada tahap tersebut.

Selain dua negara di atas, siapa kira, program pendidikan orang tua berbasis rumah ternyata juga dikembangkan di Israel, dan diberi nama HIPPY (Home Instruction Program for Preschool Youngsters). Program tersebut bertujuan untuk memandu keluarga dalam mendidik anak-anak prasekolahnya. Program itu di mulai di Israel pada 1969 yang ditujukan bagi hampir 200.000 pengungsi yang datang ke Israel dari Afrika dan Asia. Mereka sangat miskin, dan anak-anak mereka kadang terabaikan karena orang tuanya bekerja keras mencari kesejahteraan di tempat yang baru. Seperti halnya PAT, HIPPY melakukan pelatihan langsung di rumah, tetapi ditujukan bagi orang tua dari anak-anak yang berusia empat dan lima tahun.

Melihat informasi tersebut, nampaknya tak heran jika ketiga negara itu memiliki keunggulan dari sisi sumber daya manusia jika dibandingkan negara kita. Kepedulian pemerintahnya dan orang-orang berpendidikan di negara-negara tersebut terhadap pendidikan bagi anak usia dini yang “berbasis rumah dan keluarga” telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan.

Hari ini pemerintah juga nampaknya sudah memberikan ruang yang lebih lapang bagi terlaksanakan konsep tersebut dengan menjadikan pos yandu dan PKK sebagai pelaksana PAUD alternatif..

Akan tetapi, kelompok masyarakat yang sudah tercerahkan dengan berbagai informasi pendidikan anak usia dini, juga merupakan ujung tombak penyebaran ilmu keayahbundaan. Mungkin langkah pertama bisa dimulai dengan membuka kelompok-kelompok diskusi “parenting” yang terdiri atas beberapa orang tua, dan sesekali mengundang rekan-rekan yang kompeten di bidang ini. Bukan tidak mungkin hal ini akan berkembang pesat, dan akhirnya memicu peningkatan kualitas pengasuhan anak di rumah, yang dengan itu pula mampu memaksimalkan hasil yang selama ini sudah dicapai dari penyelenggaraan Playgroup dan Taman Kanak-Kanak.

Pendidikan memang cara paling tepat untuk mengubah suatu bangsa menjadi lebih baik, dan upaya ke arah itu sudah dibangun sejak lama lewat pendidikan yang diinstitusikan secara formal. Namun pada kenyataannya kita tidak bisa mengandalkan itu sebagai satu-satunya cara untuk membentuk anak-anak yang berkualitas dari berbagai segi. Kita tetap membutuhkan pendidikan rumah untuk mensinergikannya.

Walau bagaimanapun lingkungan yang positif terbentuk dari unit-unit masyarakat terkecil yang juga positif. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas anak-anak kita, pendidikan yang tidak berimbang, antara sekolah dan rumah tak jarang malah menyebabkan kegagalan kolektif.

Masalah PAUD

JUBI---Kendati berbagai komitmen internasional maupun nasional telah menegaskan tentang pentingnya pembinaan bagi anak usia dini, namun dalam kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi.  Padahal Pemkab Merauke telah memberikan respon positif kepada program PAUD yang ditandai dengan  semakin bertambahnya lembaga PAUD dan jumlah warga belajar yang semakin meningkat.

Demikian disampaikan Bupati Kabupaten Merauke, Drs. Johanes Gluba Gebze dalam arahannya di depan peserta pelatihan P-PAUD yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke, bertempat di Bina Pankat selama 21 hari (26/10).
Menurut Bupati Gebze, permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan PAUD itu sendiri diantaranya, belum semua orang tua dan masyarakat menyadari pentingnya PAUD, belum semua lembaga layanan pengembangan anak usia dini yang telah ada di masyarakat dimanfaatkan untuk layanan PAUD. Begitu juga dalam permasalahan lembaga pengelola PAUD, masih terjadi kekurangoptimalan dalam pengelolaannya. Dia mengatakan, masih terbatas pula partisipasi dan peran serta masyarakat dalam pengembangan PAUD dan masih terbatasnya fasilitas/sarana/prasarana untuk mendukung program PAUD.
Di lain sisi, Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah, Michael Talubun menyampaikan pentingnya pendidikan anak usia dini. Di mana berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa perkembangan yang diperoleh pada masa usia dini sangat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya hingga masa dewasanya. Namun demikian, dari hasil pendataan, dalam kenyataannya masih banyak anak usia dini yang belum terlayani yaitu sebesar 64,51%.  Sehingga Michael  berharap agar tenaga pendamping P-PAUD dapat meningkatkan mutu dan mengajak setiap orang tua anak terutama yang berada di kampung-kampung agar dapat mengenyam pendidikan dini guna merangsang kecerdasan anak sejak dini.

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikkan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)